BAB 6 Sub Bab 3 (PPKn XI)

 

C.      PRINSIP-PRINSIP PERLINDUNGAN TENAGA KERJA

1.  Keselamatan Kerja

Keselamatan kerja termasuk dalam perlindungan teknis, yaitu perlindungan terhadap pekerja/buruh agar selamat dan terhindar dari bahaya yang sewaktu-waktu dapat ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Berbeda dengan jenis perlindungan kerja yang lain yang umumnya ditekankan untuk kepentingan pekerja/buruh saja, keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh juga kepada pengusaha dan juga pemerintah.

a.         Bagi pekerja/buruh, dengan adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja ini akan menciptakan suasana kerja yang tentram dan kondusif, sehingga para pekerja/buruh akan fokus pada pekerjaannya dan tidak was-was apabila sewaktu-waktu terjadi kecelakaan kerja.

b.         Bagi pengusaha, dengan adanya pengaturan keselamatan kerja ini akan meminimalisir terjadinya kecelakan kerja yang berakibat pada pemberian jaminan sosial.

c.         Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya peraturan keselamatan kerja yang ditaati, maka apa yang direncanakan pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat akan tercapai dengan meningkatnya produksi perusahaan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Menurut ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Keselamatan Kerja, syarat-syarat keselamatan kerja yang harus diperhatikan oleh pengusaha akan diatur lebih lanjut. Berhubung peraturan perundangan yang dimaksud belum ada hingga kini, maka perundangan warisan Hindia-Belanda menjadi jalan alternatif. Penetapan syarat-syarat keselamatan kerja di antaranya bertujuan untuk:

a.         mencegah dan mengurangi kecelakaan

b.         mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran

c.         mencegah dan mengurangi bahaya peledakan

d.        memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kajadian- kajadian lain yang berbahaya

e.         memberikan pertolongan pada kecelakaan

f.          memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja/buruh

g.         mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebarluaskan suhu, kelembaban, debu kotoran, asap, uap gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara, dan getaran

h.         mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, baik fisik maupun psikis, peracunan, infeksi, dan penularan.

Berdasarkan tujuan di atas, dibuatnya aturan penyelenggaraan keselamatan kerja pada hakikatnya adalah pembuatan syarat-syarat keselamatan kerja dalam perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan, peralatan  dalam bekerja, serta pengaturan dalam penyimpanan bahan, barang, produk teknis, dan aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan, sehingga potensi bahaya kecelakaan kerja tersebut dapat dieliminir. Dan syarat-syarat tersebut diharapkan memuat prinsip teknis ilmiah yang menjadi kumpulan peraturan yang tersusun secara sistematis, jelas, dan praktis yang mencakup bidang konstruksi, bahan, pengolahan dan pembuatan alat-alat perlindungan, dan lain - lain.

a.         Kewajiban pengusaha

Keselamatan para pekerja/ buruh di tempat kerja merupakan tanggung jawab pemimpin atau pengurus tempat kerja atau pengusaha. Kewajiban pengusaha atau pimpinan perusahaan dalam melaksanakan keselamatan kerja terbagi menjadi dua, sebagai berikut.

1)        Terhadap tenaga kerja yang baru bekerja, berkewajiban menunjukkan dan menjelaskan tentang:

(a)      kondisi dan bahaya yang dapat ditimbulkan di tempat kerja

(b)     semua alat pengaman dan pelindung yang diharuskan,

(c)      cara dan sikap dalam melakukan pekerjaan,

(d)     memeriksa kesehatan baik fisik maupun mental tenaga kerja bersangkutan.

2)        Terhadap tenaga kerja yang telah/sedang dipekerjakan, ia berkewajiban:

(a)      melakukan pembinaan dalam hal pencegahan kecelakaan dan penanggulangannya

(b)     memeriksa kesehatan fisik dan mental tenaga kerja secara berkala

(c)      menyediakan secara cuma-cuma alat perlindungan diri bagi tiap pekerja

(d)     memasang gambar atau undang- undang keselamatan kerja

(e)      melaporkan setiap peristiwa kecelakaan di tempat kerja ke Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat:

(f)      membayar biaya pengawasan keselamatan kerja ke kantor Perbendaharaan Negara,

(g)     menaati semua peraturan keselamatan kerja.

Selain itu, menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-15/MEN/VIII/2008 tentang Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan Kerja, kewajiban pengusaha sebagai berikut.

1)        Menyediakan petugas P3K di tempat kerja

2)        Menyediakan fasilitas P3K di tempat kerja

3)        Melaksanakan P3K di tempat kerja

b.         Hak dan kewajiban pekerja/buruh

Dari sudut si tenaga kerja, juga memiliki hak dan kewajiban dalam pelaksanaan keselamatan kerja. Kewajiban-kewajiban tersebut sebagai berikut.

1)        Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas atau ahli keselamatan dan kesehatan kerja

2)        Memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan

3)        Memenuhi dan menaati semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang berlaku di tempat kerja/perusahaan yang bersangkutan.

Hak-hak tenaga kerja sebagai berikut.

1)        Meminta kepada pimpinan atau pengurus perusahaan tersebut agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan.

2)        Menyatakan keberatan melakukan pekerjaan bila syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat perlindungan diri yang diwajibkan tidak memenuhi persyaratan, kecuali ditetapkan lain oleh pegawai pengawas dalam bates-batas yang masih dapat dipertanggungjawabkan.

c.         Faktor penyebab kecelakaan

Tidak dapat dipungkiri bahwa keselamatan kerja bertalian erat dengan kecelakaan kerja. Namun demikian, suatu kejadian atau peristiwa pasti memiliki sebab yang melatarbelakanginya, di mana terdapat 4 faktor penyebab, sebagai berikut.

1)        Faktor manusianya, misalnya karena kurangnya keterampilan atau pengetahuan, atau salah penempatan.

2)        Faktor materialnya/ bahannya/ peralatannya, misalnya bahan yang seharusnya dari besi dibuat dari bahan yang lebih murah sehingga mudah menimbulkan kecelakaan.

3)        Faktor bahaya/sumber bahaya, terdapat dua sebab:

(a)      perbuatan berbahaya, misalnya metode kerja salah, keletihan;

(b)     kondisi/keadaan berbahaya (keadaan yang tidak aman dari mesin/ peralatan, lingkungan, proses).

4)        Faktor yang dihadapi, misalnya kurangnya pemeliharaan/perawatan mesin sehingga tidak dapat bekerja sempurna.

2.  Kesehatan Kerja

Kesehatan kerja termasuk dalam jenis perlindungan sosial karena ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja ini berkaitan dengan sosial kemasyarakatan.

Kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga pekerja/buruh dari kejadian atau keadaan hubungan kerja yang dapat merugikan kesehatan atau kesusilaannya dalam hal pekerja/buruh melakukan pekerjaannya.

a.         Riwayat kesehatan kerja

Menilik pada sejarahnya, kesehatan kerja ini dimaksudkan sebagai perlindungan bagi buruh terhadap pemerasan (eksploitasi) tenaga buruh oleh majikan yang misalnya untuk mendapat tenaga yang murah, mempekerjakan budak, pekerja rodi, anak dan wanita untuk pekerjaan yang berat dan waktu yang tak terbatas. Kesehatan kerja pertama kali diatur dalam:

1)        Maatregelen ter Beperking van de Kindearrbied en de Nachtarbeid van de Vroewen, yang biasanya disingkat Maatregelen, yaitu peraturan tentang pembatasan pekerjaan anak dan wanita pada malam hari, yang dikeluarkan dengan Ordonantie No. 647 Tahun 1925, mulai berlaku tanggal 1 Maret 1926

2)        Bepalingen Betreffende de Arbeit van Kinderen en Jeugdige Persoonen ann Boorvan Scepen, biasanya disingkat "Bepalingen Betreffende”, yaitu peraturan tentang pekerjaan anak dan orang muda di kapal, yang diberlakukan dengan Ordonantie No. 87 Tahun 1926, mulai berlaku tanggal 1 Mei 1926.

Setelah Indonesia merdeka pun peraturan perundangan mengenai kesehatan kerja ini tetap mengalami penggodokan hingga akhirnya dikeluarkan lah UU No 12 Tahun 1948, yang dimaksudkan sebagai undang - undang pokok yang memuat aturan-aturan dasar tentang pekerjaan anak, pekerjaan orang muda, pekerjaan wanita, waktu kerja, istirahat, dan mengaso, tempat kerja dan perumahan buruh, untuk semua pekerjaan tidak membeda - bedakan tempatnya misalnya di bengkel, di pabrik, di rumah sakit, di perusahaan pertanian, perhubungan, pertambangan, dan lain-lain. Undang-undang ini terus berlaku berikut peraturan pelaksanaannya hingga kemudian undang-undang kerja ini dicabut dan digantikan dengan UU No 13 Tahun 2003

b.         Tujuan kesehatan kerja

1)        Meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi- tingginya, baik fisik, mental maupun sosial.

2)        Mencegah dan melindungi tenaga kerja dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja.

3)        Menyesuaikan tenaga kerja dengan pekerjaan atau pekerjaan dengan tenaga kerja

4)        Meningkatkan produktivitas kerja

c.         Sumber-sumber bahaya bagi kesehatan tenaga kerja

Sumber-sumber bahaya bagi kesehatan tenaga kerja dapat disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut

1)        Faktor fisik, berupa suara terlalu bising, suhu terlalu tinggi atau terlalu rendah, radiasi, getaran mekanis dan sebagainya.

2)        Faktor kimia, berupa gas/uap, cairan, debu - debuan, butiran kristal, dan bahan-bahan kimia yang mempunyai sifat racun.

3)        Faktor biologis, berupa bakteri virus, jamur, cacing, serangga, tumbuh-tumbuhan dan semacamnya yang hidup dalam lingkungan tempat kerja.

4)        Faktor fatal, berupa sikap badan yang tidak baik pada waktu kerja, gerak yang senantiasa duduk atau berdiri, proses, sikap dan cara kerja yang monoton, beban kerja melampaui batas kemampuan, dan lain- lain.

5)        Faktor psikologis, berupa kerja yang terpaksa/ dipaksakan tidak sesuai kemampuan, suasana kerja tidak menyenangkan, pikiran yang tertekan, dan pekerjaan yang cenderung mudah menimbulkan kecelakaan.

d.        Tentang pekerja anak

Dalam Pasal 68 UU No. 13 Tahun 2003, secara tegas melarang pengusaha mempekerjakan anak. Larangan itu sifatnya mutlak, artinya di semua perusahaan. Tidak dibedakan apakah pekerjaan itu dilakukan di perusahaan perindustrian, di perusahaan pertanian, ataukah di perusahaan perdagangan. Hal ini juga berkaitan dengan program wajib belajar yang dicanangkan oleh pemerintah. Dengan demikian, tentunya anak-anak yang berusia di bawah 14 tahun sedang giat-giatnya belajar, dan bukannya bekerja. Jadi, larangan pekerjaan anak itu bermaksud untuk menjaga kesehatan dan pendidikannya.

Namun kenyataannya, hingga saat ini masih banyak anak-anak yang terpaksa ikut bekerja untuk membantu orang tuanya. Banyak pula dari mereka yang harus meninggalkan bangku sekolah dan memilih bekerja karena himpitan ekonomi keluarga. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perekonomian negara kita memang belum memungkinkan untuk membebaskan anak-anak dari pekerjaan. Oleh karena itu, UU No. 13 Tahun 2003 ini lebih lanjut mengatur tentang pekerjaan anak, yakni pada Pasal 68 sampai dengan Pasal 75.

Bagi anak yang berumur antara 13 sampai dengan 15 tahun diperbolehkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Anak juga dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat berwenang. Selain itu pula, anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.

e.         Tentang pekerja perempuan

Mempekerjakan perempuan di perusahaan tidak semudah yang dibayangkan. Masih ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengingat bahwa:

1)        para wanita umumnya bertenaga lemah, halus tapi tekun;

2)        norma-norma susila harus diutamakan, agar tenaga kerja wanita tidak terpengaruh oleh perbuatan negatif dari tenaga kerja lawan jenisnya, terutama kalau dipekerjakan pada malam hari,

3)        para tenaga kerja wanita itu umumnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang halus sesuai dengan kehalusan sifat dan tenaganya:

4)        para tenaga kerja itu ada yang masih gadis, ada pula yang sudah bersuami atau berkeluarga yang dengan sendirinya mempunyai beban-beban rumah tangga yang harus dilakukannya pula.

f.          Tentang waktu kerja, mengaso, den istirahat (cuti).

Pada hakikatnya pemberian waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh bertujuan untuk mengembalikan kesegaran dan kesehatan baik fisik, mental, dan sosial pekerja/buruh. Sebagaimana manusia pada umumnya, para pekerja/buruh memiliki fungsi dan kewajiban sosial dalam masyarakat dan keluarganya. Sehingga dalam masa istirahat atau cuti inilah mereka dapat menunaikan fungsi dan kewajiban sosialnya. Beberapa peraturan perundang - undangan yang mengatur terkait hal ini sebagai berikut.

1)        UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu Pasal 79 sampai dengan Pasal 84 dan cuti tahunan yang berkaitan dengan PHK, yaitu Pasal 156 ayat (4).

2)        Kepmenakertrans No. KEP-51/Men/IV/2004 tentang Istirahat Panjang pada Perusahaan Tertentu.

3)        Kepmenakertrans No. KEP-234/Men/2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat pada Sektor Usaha Energi dan sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu.

Penggunaan istilah waktu kerja, mengaso, dan istirahat ini pada dasarnya bertujuan untuk mempermudah pengertian, sebab yang dimaksud dengan:

1)        waktu kerja, adalah waktu efektif di mana pekerja/buruh hanya melakukan pekerjaannya. Waktu kerja menurut Pasal 77 UU No. 13 Tahun 2003, meliputi:

(a)      7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam seminggu,

(b)     8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam seminggu.

2)        waktu mengaso, yaitu waktu istirahat bagi pekerja/buruh setelah melakukan pekerjaan 4 jam berturut-turut yang tidak termasuk waktu kerja. Waktu mengaso paling sedikit adalah 30 menit

3)        waktu istirahat adalah waktu cuti, yaitu waktu di mana pekerja/buruh diperbolehkan untuk tidak masuk kerja karena alasan-alasan yang diperbolehkan undang-undang. Secara yuridis, waktu cuti ini dibedakan menjadi yang empat, sebagai berikut.

(a)      Istirahat (cuti) mingguan, yaitu 1 hari untuk 6 hari kerja seminggu, atau 2 hari untuk 5 hari kerja seminggu.

(b)     Istirahat (cuti) tahunan, yaitu sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan terus-menerus (Pasal 79 ayat (2) huruf c UU No. 13 Tahun 2003).

(c)      Istirahat (cuti) panjang yaitu sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ke-7 dan 8 masing-masing satu bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 tahun berturut-turut, dan untuk 2 tahun berjalan tidak berhak mengambil cuti tahunan lagi.

(d)     Istirahat (cuti) haid, hamil/bersalin. Cuti haid hanya berlaku untuk hari pertama dan kedua bagi pekerja/buruh perempuan (dengan syarat memberitahukan kepada pengusaha). Untuk pekerja/buruh perempuan yang sedang hamil dapat mengambil cuti satu setengah bulan sebelum melahirkan dan setengah bulan setelah melahirkan. Di samping itu, bagi pekerja/ buruh perempuan yang mengalami keguguran dapat mengambil cuti satu setengah bulan sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

3.  Pengupahan

a.         Pengertian upah

Dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah disebutkan bahwa upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilaksanakan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut persetujuan atau perundang-undangan yang berlaku dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh itu sendiri maupun keluarganya. Sedangkan dalam pasal 1 angka 30 UU Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

b.         Perlindungan upah

Sistem pengupahan yang bersifat diferensif menyebabkan kuantitas tingkat upah khususnya dalam penetapan upah minimum terjadi beberapa perbedaan. Kebijakan sektoral dan regional didasarkan pada pemilihan wilayah/daerah berikut sektor ekonominya yang potensial dengan mempertimbangkan beberapa aspek yang memengaruhi sebagai berikut.

1)        Aspek kondisi perusahaan

Melalui aspek ini dapat diketahui kriteria perusahaan yang tergolong kecil, menengah, atau besar, yang membawa konsekuensi pada kemampuan perusahaan tersebut dalam memberikan upah.

2)        Aspek keterampilan tenaga kerja

Tenaga kerja merupakan modal dasar bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi perusahaan. Karena peningkatan produksi dan produktivitas kerja sangat ditentukan oleh personil perusahaan, baik tingkat bawah maupun tingkat atas.

3)        Aspek standar hidup

Pemberian upah juga didasarkan pada wilayah atau daerah dimana perusahaan itu berada, karena standar hidup di masing- masing daerah itu berbeda. Peningkatan upah ini didasarkan pada kebutuhan pokok tenaga kerja yang bersangkutan sesuai tingkat perkembangan ekonomi dan sosial di wilayah tertentu.

4)        Aspek jenis pekerjaan

Perbedaan pada jenis pekerjaan juga mengakibatkan terjadinya perbedaan tingkat upah. Aspek ini mempunyai arti yang khusus, karena diperolehnya pekerjaan dapat membantu tercapainya kebutuhan pokok bagi pekerja yang bersangkutan.

c.         Komponen upah

Dalam surat edaran Menteri Tenaga Kerja No. 07/MEN/1990 tentang pengelompokan komponen upah dan pendapatan non upah disebut bahwa:

1)    termasuk komponen upah:

(a)      upah pokok, merupakan imbalan dasar yang dibayarkan kepada pekerja menurut jenis pekerjaan, dan mengenai besarnya ditentukan berdasarkan perjanjian,

(b)     tunjangan tetap, tunjangan ini diberikan bersamaan dengan upah pokok, tunjangan tetap ini seperti, tunjangan kesehatan, perumahan, anak, dan lain - lain. Yang diberikan kepada buruh dan keluarganya;

(c)      tunjangan tidak tetap, diberikan secara tidak tetap bagi pekerja dan keluarganya, dan tidak dibayarkan bersamaan dengan upah pokok.

2)    tidak termasuk komponen upah:

(a)      fasilitas, kenikmatan yang bersifat khusus atau untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, seperti kendaraan antar jemput;

(b)      bonus, pembayaran yang diterima buruh dari hasil prestasinya di perusahaan tempatnya bekerja:

(c)      Tunjangan Hari Raya (THR) dan pembagian keuntungan lainnya.

d.        Upah satuan waktu dan upah satuan produk

Upah dapat ditentukan menurut satuan waktu atau menurut satuan produk yang dihasilkan oleh pekerja. Upah menurut satuan waktu dapat dihitung dalam bentuk upah per jam, upah per hari, upah per minggu, dan seterusnya. Upah per jam biasanya digunakan untuk pelaksanaan kegiatan yang sifatnya tidak lama, seperti konsultan, penceramah, tenaga bebas, dan sebagainya.

Sedangkan, upah per bulan biasanya diperuntukkan bagi pekerja yang sifatnya tetap. Pekerja mempunyai ikatan kerja yang relatif lama atau tetap sehingga disebut pekerja tetap. Istilah upah biasanya digunakan untuk satuan waktu yang relatif pendek seperti per jam, per hari. Sedangkan, istilah gaji biasanya mencakup juga tunjangan-tunjangan dan digunakan untuk satuan waktu yang relatif panjang, seperti per bulan dan per tahun.

e.         Gaji pokok dan tunjangan

Sistem pengupahan menurut satuan waktu pada umumnya memakai pola gaji pokok dan tunjangan. Gaji pokok adalah gaji dasar yang ditetapkan untuk melaksanakan satu jambatan, atau pekerjaan tertentu pada golongan pangkat dan waktu tertentu. Gaji pokok di suatu perusahaan disusun menurut jenjang karir di perusahaan tersebut.

Sesuai dengan kondisi perusahaan masing- masing dan antara pengusaha dan para pekerja, perusahaan memberikan berbagai macam jenis tunjangan yang mempunyai kaitan langsung dengan pekerjaan atau produk seperti halnya tunjangan jabatan. Tunjangan adalah suplemen terhadap upah atau gaji pokok dalam tiga fungsi yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas, dalam rangka fungsi sosial seperti tunjangan untuk keluarga dan sebagai insentif.

Seluruh komponen upah gaji yang dinyatakan dalam bentuk uang dinamakan upah atau gaji bruto. Berdasarkan upah atau gaji tersebut mungkin masih dipotong pajak penghasilan dan iuran dana pensiun atau kewajiban lain setelah pengurangan tersebut, pekerja/buruh akan menerima upah net atau upah bersih yang dibawa ke rumah dan dinamakan take home pay.

f.          Waktu kerja lembur dan upah kerja lembur

Perusahaan harus mempekerjakan buruh/pekerja sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan, jika melebihi ketentuan tersebut harus dihitung/dibayar sebagai upah kerja lembur.

Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 jam sehari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 8 jam sehari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan/atau pada hari istirahat resmi yang ditetapkan pemerintah. (Pasal 1 butir 1 Kepmenakertrans No. KEP-102/Men/ VI/2004 tentang kerja lembur dan upah kerja lembur).

1)        Penghitungan upah kerja lembur

a)        Dilakukan pada hari kerja

     Untuk jam kerja lembur pertama dibayar upah 1,5 kali upah sejam.

     Untuk jam lembur berikutnya dibayar upah 2 kali upah sejam.

Ketentuan ini sama dengan ketentuan dalam Kepmenakertrans No. 72 Tahun 1984 yang dicabut dengan Kepmenakertrans No. 102/Men/VI/2004.

b)        Dilakukan pada hari istirahat dan libur resmi

(1)      6 hari kerja 40 jam seminggu

         Untuk 7 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam.

         Untuk jam ke-8 dibayar 3 kali upah sejam.

         Untuk jam ke-9 dan ke-10 dibayar 4 kali upah sejam.

Apabila hari libur libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek, upah lembur lima jam pertama dibayar 2 kali upah sejam. Jam ke-6 dibayar 3 kali upah sejam dan kerja lembur ke-7 dan ke-8 dibayar 4 kali upah sejam.

(2)      5 hari kerja 40 jam seminggu

         Untuk 8 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam.

         Untuk jam ke-9 dibayar 3 kali upah sejam.

         Untuk jam ke-10 dan ke-11 dibayar 4 kali upah sejam.