Bab 7 Sub Bab 2 (PPKn X) Budaya Politik Indonesia

 


C.      BUDAYA POLITIK INDONESIA

1.    Pandangan mengenai Budaya Politik Indonesia

a.    Menurut Nazarudin Sjamsuddin

Menurut Nazarudin Sjamsuddin, budaya politik di Indonesia tercermin dari Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini karena dalam sebuah budaya politik, ciri utama yang menjadi identitas adalah sesuatu nilai atau orientasi yang menonjol dan diakui oleh masyarakat atau bangsa secara keseluruhan. Ciri utama itu menjadi simbol masyarakat karena bersifat menonjol dan kehadirannya diakui masyarakat sebagai identitasnya. Simbol yang selama ini dikenal dan diakui oleh masyarakat adalah Bhinneka Tunggal Ika. Ada dua nilai penting dalam budaya politik Bhinneka Tunggal Ika, yaitu toleransi dan tenggang rasa.

b.    Menurut Afan Gaffar

Menurut Afan Gaffar, sangat sulit untuk mengidentifikasi budaya politik Indonesia. Oleh karena itu, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah menggambarkan pola budaya politik dominan. Budaya politik dominan ini berasal dari kelompok etnis dominan, yaitu kelompok etnis Jawa. Menurutnya, budaya etnis ini sangat mewarnai sikap, perilaku, dan orientasi politik kalangan elit politik Indonesia.

2.    Ciri-Ciri Dominan Budaya Politik di Indonesia

Menurut Afan Gaffar, budaya politik Indonesia Politik memiliki tiga ciri dominan sebagai berikut.

a.    Adanya hierarki yang kuat/ketat

Ciri ini terlihat dari pemilahan tegas antara penguasa dan rakyat biasa melalui tatanan hierarki yang ketat. Pengaruh stratifikasi sosial seperti ini antara lain terlihat pada cara penguasa memandang dirinya sendiri serta rakyatnya. Penguasa cenderung melihat dirinya sebagai guru/pamong dari rakyat. Sebaliknya, penguasa cenderung merendahkan rakyatnya, memandang sepantasnya rakyat patuh dan taat kepada penguasa karena penguasa pemurah dan pelindung. Efek negatif dari hal ini adalah pembentukan semua agenda/kebijakan publik ada di tangan penguasa, sedangkan rakyat cenderung disisihkan dari proses politik, tetapi rakyat harus melaksanakan kebijakan yang disusun penguasa.

 

b.    Adanya kecenderungan patronase (perlindungan)

Salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia adalah pola hubungan patronase. James Scott menyebut pola hubungan ini sebagai patron-klien. Antara individu patron dan klien terjadi interaksi timbal- balik saling menukar sumber daya masing- masing. Sang patron memiliki kekuasaan, kedudukan, jabatan, perlindungan, perhatian, bahkan materi (harta, uang, dan lainnya). Sedangkan, sang klien memiliki tenaga, dukungan, dan kesetiaan. Pola hubungan ini akan terpelihara selama kedua belah pihak memiliki sumber dayanya. Jika tidak, masing-masing akan mencari orang lain baik sebagai patron atau klien.

c.    Adanya kecenderungan neo-patrimonialistik

Negara memiliki atribut yang bersifat modern dan rasional, namun perilaku negara masih memerlihatkan tradisi dan budaya politik patrimonial. Menurut Max Weber, dalam negara yang patrimonialistik, penyelenggaraan pemerintahan berada di bawah kontrol langsung pimpinan negara. Negara patrimonialistik memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut:

1)        Terdapat kecenderungan bagi penguasa untuk menukar sumber daya yang dimiliki seorang penguasa kepada teman-temannya.

2)        Kebijakan seringkali lebih bersifat partikularistik dari pada bersifat universalistik.

3)        Rule of law lebih bersifat sekunder jika dibandingkan kekuasaan penguasa (rule of man).

4)        Penguasa politik seringkali mengaburkan antara kepentingan pribadi dan  kepentingan publik.

Efek budaya politik neo-patrimonialistik dalam kehidupan politik di Indonesia adalah kekuasaan menjadi tidak terkontrol. Hal ini berakibat negara menjadi sangat kuat dan terhambatnya peluang munculnya masyarakat madani.

 

D.      SOSIALISASI POLITIK DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK

1.    Sosialisasi Politik

Berikut ini beberapa pengertian sosialisasi politik menurut para ahli.

a.    Gabriel A. Almond

Sosialisasi politik menunjukkan pada proses dimana sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk, dan juga merupakan sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan patokan - patokan politik dan keyakinan - keyakinan politik kepada generasi berikutnya.

b.   Richard E. Dawson

Sosialisasi politik dapat dipandang sebagai suatu pewarisan pengetahuan, nilai-nilai, dan pandangan-pandangan politik dari orang tua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi yang lainnya kepada warga negara baru dan mereka yang menginjak dewasa.

c.    Denis Kavanagh

Sosialisasi politik merupakan suatu proses dimana seseorang mempelajari dan menumbuhkan pandangannya tentang politik.

d.   Ramlan surbakti

Sosialisasi politik merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik anggota masyarakat.

Berdasarkan berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya, sosialisasi politik adalah suatu proses untuk memasyarakatkan nilai-nilai atau budaya politik ke dalam suatu masyarakat. Sosialisasi politik juga menjadi suatu proses agar setiap individu atau kelompok dapat mengenali sistem politik dan menentukan sifat persepsi - persepsinya mengenai politik seperti budaya politik, sosialisasi politik, partisipasi politik di Indonesia serta reaksi-reaksinya terhadap fenomena-fenomena politik. Sosialisasi politik berperan mengembangkan serta memperkuat sikap politik di kalangan warga masyarakat yang sadar politik, yaitu sadar akan hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama.

Beberapa segi penting sosialisasi politik, sebagai berikut.

a.    Sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil belajar dari pengalaman/pola- pola aksi.

b.    Memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku individu dan kelompok dalam batas-batas yang luas, dan lebih khusus lagi, berkenaan dengan pengetahuan atau informasi, motif - motif (nilai-nilai), dan sikap-sikap.

c.    Sosialisasi itu tidak perlu dibatasi pada usia anak-anak dan remaja saja (walaupun periode ini paling penting), tetapi sosialisasi berlangsung sepanjang hidup.

d.   Bahwa sosialisasi merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas sosial, dan baik secara implisit maupun eksplisit memberikan penjelasan mengenai tingkah laku sosial.

2.    Pembagian Sosialisasi Politik

Ramlan Surbakti membagi sosialisasi politik dalam dua bagian berdasarkan metode penyampaian pesan sebagai berikut.

a.    Pendidikan politik

Pendidikan politik merupakan proses dialogis di antara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini, para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem. Ramlan Surbakti melihat bahwa pendidikan politik dipandang sebagai proses dialog antara pendidik, seperti sekolah, pemerintah, partai politik, dan peserta didik dalam rangka pemahaman, penghayatan, serta pengamalan nilai, norma, dan simbol politik yang dianggap ideal dan baik. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan kursus, latihan kepemimpinan, diskusi, atau keikutsertaan dalam berbagai forum pertemuan.

Melalui pendidikan politik, diharapkan masyarakat dapat:

1)   memahami kedudukannya, sebagai warga negara, dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan tanggung jawab sosialnya;

2)   memahami kesulitan atau permasalahan sendiri;

3)   menyadari implikasi sosial serta konsekuensi politik dari setiap perbuatannya di tengah masyarakat;

4)   menyadari kondisi lingkungan hidupnya, dan seluruh relasinya, di suatu wilayah, yaitu negaranya.

b.    Indoktrinasi politik

Proses indoktrinasi politik adalah proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai-nilai, norma, dan simbol yang dianggap ideal dan baik oleh pihak yang berkuasa.

3.    Lembaga, Sarana atau Agen Sosialisasi Politik

a.    Keluarga

Lembaga yang pertama dijumpai seorang individu adalah keluarganya. Pembentukan nilai-nilai politik individu mulai terjadi di dalam keluarga. Anak dididik untuk menghargai otoritas ayah dan ibu serta orang yang lebih tua. Di keluarga ditanamkan juga kaidah- kaidah yang harus dipatuhi oleh anak, serta nilai-nilai dan keyakinan politik dari kedua orang tua. Selain itu, anak juga belajar bersikap terhadap kekuasaan dan membuat keputusan bersama.

b.    Sekolah

Sekolah memberi pengetahuan kepada peserta didiknya mengenai dunia politik dan peran mereka di dalamnya. Sekolah juga dapat membangun kesadaran mengenai pentingnya hidup bernegara dan cinta tanah air. Selain itu, di sekolah, peserta didik juga dapat diberikan informasi dan pemahaman mengenai simbol-simbol negara, seperti lambang negara, bendera nasional, bahasa nasional, dan lagu kebangsaan.

c.    Kelompok pergaulan

Kelompok pergaulan juga merupakan unit sosial yang bisa membentuk sikap politik seseorang. Contoh kelompok pergaulan adalah kelompok bermain masa kanak-kanak, kelompok persahabatan, dan kelompok kerja kecil. Dalam kelompok pergaulan, setiap anggota mempunyai kedudukan relatif sama dan saling memiliki ikatan erat. Melalui kelompok pergaulan, tindakan politik seseorang dapat memengaruhi anggota- anggota lain dari kelompok itu.

d.   Tempat bekerja

Organisasi formal maupun nonformal yang dibentuk berdasarkan lingkungan tempat kerja juga merupakan sarana sosialisasi politik, misalnya serikat kerja, serikat buruh, dan sejenisnya. Seseorang dapat mengidentifikasi dirinya dengan kelompok tertentu dan menggunakan kelompok acuan (reference) dalam kehidupan politik. Bagi para anggotanya, organisasi dapat juga berfungsi sebagai penyuluh di bidang politik.

e.    Media massa

Masyarakat modern tidak dapat hidup tanpa komunikasi yang luas, cepat, dan relatif seragam. Oleh karena itu, media massa baik surat kabar, majalah, radio, televisi, dan internet memegang peranan penting. Melalui berbagai sarana tersebut, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan dan informasi tentang politik secara cepat.