BAB 7 SUB BAB 1 PPKN KELAS X BUDAYA POLITIK DI INDONESIA
BAB 7
BUDAYA POLITIK DI INDONESIA
KOMPETENSI DASAR
Melaksanakan budaya politik Indonesia sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Peduli terhadap budaya politik Indonesia.
Menganalisis budaya politik di Indonesia.
Menyaji hasil analisis tentang budaya politik di Indonesia.
Materi Pembelajaran
PENGERTIAN DAN KOMPONEN BUDAYA POLITIK
Pengertian Budaya Politik
Secara harfiah kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu budhayah atau bentuk jamak dari budhi yang berarti akal. Sedangkan, kata politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis, yang berarti negara atau kota.
Berikut ini merupakan pengertian budaya politik menurut beberapa ahli ilmu politik.
Prof. Dr. H. Rusadi Kantaprawira, S.H. mendefinisikan budaya politik sebagai pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
Alan R. Ball mendefinisikan budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi, dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
Austin Ranney mengartikan budaya politik sebagai seperangkat pandangan- pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama atau sebuah pola orientasi terhadap objek-objek politik.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut.
Bahwa konsep budaya politik lebih memberi penekanan pada perilaku - perilaku non aktual, seperti orientasi, sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan-kepercayaan.
Hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya pembicaraan tentang budaya politik tidak pernah lepas dari pembicaraan tentang sistem politik.
Budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif, atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu.
Komponen Budaya Politik
Orientasi warga negara terhadap sistem politik
Almond dan Verba mengklasifikasikan komponen budaya politik menjadi tiga bentuk orientasi sebagai berikut.
Orientasi yang bersifat kognitif adalah komponen yang meliputi pengetahuan/ pemahaman dan keyakinan-keyakinan individu tentang sistem politik dan atributnya, seperti ibu kota negara, lambang-lambang negara, kepala negara, batas-batas negara, dan mata uang yang dipakai.
Orientasi yang bersifat afektif adalah komponen yang menyangkut perasaan - perasaan atau ikatan emosional yang dimiliki oleh individu terhadap sistem politik.
Orientasi yang bersifat evaluatif adalah komponen yang menyangkut kapasitas individu dalam rangka memberikan penilaian terhadap sistem politik yang sedang berjalan dan bagaimana peran individu di dalamnya.
Objek politik
Objek politik adalah suatu hal yang dijadikan sasaran dari orientasi warga negara. Objek politik yang dijadikan orientasi itu meliputi tiga hal sebagai berikut.
Objek politik umum merupakan objek politik yang berkaitan dengan unsur politik secara menyeluruh, meliputi sejarah bangsa, negara, simbol negara, wilayah negara, kekuasaan negara, konstitusi negara, lembaga-lembaga negara, pimpinan negara, dan hal lain dalam politik yang sifatnya umum.
Objek politik input, yaitu objek politik yang berperan dalam memberikan masukan terhadap proses politik yang termasuk input dalam sistem politik adalah lembaga atau pranata politik. Contohnya partai politik, kelompok kepentingan, organisasi masyarakat, pers, dukungan, dan tuntutan.
Objek politik output merupakan hasil dari proses politik. Lembaga yang termasuk dalam kategori objek politik output ini, contohnya birokrasi, lembaga peradilan, kebijakan, putusan, undang-undang, dan peraturan.
TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
Tipe-tipe Budaya Politik yang Berkembang dalam masyarakat
Menurut Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, terdapat tiga tipe budaya politik yang berkembang dalam suatu masyarakat sebagai berikut.
Budaya politik parokial (parochial political culture)
Budaya politik parokial hadir ketika warga negara tidak tahu mengenai pemerintah dan kebijakan-kebijakan pemerintah, serta tidak melihat diri mereka terlibat dalam proses politik (do not know and do not act). Dengan kata lain, budaya politik parokial merupakan budaya politik saat partisipasi warga masyarakat terhadap politik masih sangat rendah atau tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap politik. Biasanya budaya politik parokial terjadi dalam wilayah kecil atau sempit yang sama sekali tidak mengharapkan apapun dari sistem politik. Ciri-ciri budaya politik parokial sebagai berikut.
Rendahnya dukungan kepada pemerintah. Hal ini mungkin disebabkan ketidaksadaran terhadap keberadaan pemerintah pusat.
Adanya kedekatan warga dengan suku - suku mereka, daerah, agama, atau kelompok etnis. Mereka tidak memiliki perasaan terhadap kelompok sosial atau etnis lain, bangsa, negara, atau sistem politik lain. Kecenderungan kehilangan kepercayaan pada orang lain biasanya terjadi akibat perpecahan lintas sektor dan perang saudara.
Memandang keberhasilan dengan pesimistis sehingga dukungan terhadap pemerintah rendah.
Budaya politik subjek (subject political culture)
Budaya politik subjek adalah budaya politik yang terjadi ketika warga negara telah memiliki pengetahuan mengenai pemerintah beserta kebijakannya namun belum memiliki orientasi untuk terlibat atau berpartisipasi secara aktif dalam proses politik. Ciri-ciri budaya politik subjek sebagai berikut.
Ada dukungan yang tinggi kepada pemerintah. Dalam istilah lain, warga percaya bahwa mereka menjadi bagian sebuah sistem politik. Loyalitas lain ada tetapi posisinya sekunder setelah loyalitas kepada negara.
Terdapat lebih banyak kepercayaan terhadap grup - grup lain dalam masyarakat, dibandingkan pada budaya politik parokial.
Para warga, tetap tidak melihat diri mereka sendiri sebagai peserta aktif yang akan memengaruhi politik. Mereka beranggapan bahwa politik dibentuk oleh para elit, bukan warga biasa.
Budaya politik partisipan (participant political culture)
Budaya politik partisipan merupakan budaya politik saat warganegara telah memiliki orientasi terhadap ketiga objek politik. Masyarakat telah menyadari kehadiran pemerintahan, proses input politik, output dari pemerintah, bahkan masyarakat telah berperan aktif dalam memberikan pandangannya terhadap proses politik melalui organisası kepentingan atau partai politik. Keterlibatan aktif masyarakat dalam budaya politik partisipan ini seperti memberikan suara dalam pemilu atau kegiatan politik lainnya. Ciri-ciri budaya politik partisipan sebagai berikut:
Serupa dengan budaya politik subjek dalam hal pengakuan dan penerimaan legitimasi pemerintah. Perbedaannya adalah dalam keyakinan besar bahwa warga negara berperan dalam memengaruhi pemerintah.
Kebanyakan orang dalam masyarakat menerima aturan yang sama untuk mendapatkan dan memindahkan kekuasaan (misalnya melalui pemilu). Selain itu, kesetiaan mereka terhadap negara lebih penting dari pada loyalitas atas kelompok tertentu lainnya.
Tingkat keyakinan warga bahwa tindakan mereka berpengaruh dalam kebijakan politik sangat tinggi.
Model Kebudayaan Politik
Menurut Mochtar Masoed dan Colin MacAndrews ada tiga model kebudayaan politik berikut.
Masyarakat demokratis industrial
Masyarakat demokratis industrial terdiri dari aktivis politik dan kritikus politik yang sebagian besar masyarakatnya berbudaya politik partisipan. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah masyarakat yang berbudaya politik partisipan mencapai 40-60% dari penduduk dewasa, terdiri dari para aktivis dan peminat politik yang kritis mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan dan pemerintahan. Sementara itu, jumlah yang berbudaya politik subjek kurang lebih 30% sedangkan jumlah yang berbudaya politik parokial sekitar 10%.
Masyarakat dengan sistem politik otoriter
Masyarakat dengan sistem politik otoriter, sebagian besar masyarakatnya berbudaya politik subjek yang pasif, tunduk pada peraturan, tetapi tidak melibatkan diri dalam berbagai kegiatan politik. Sebagian kecil rakyat berbudaya politik partisipan dan parokial. Kelompok partisipan berasal dari mahasiswa, kaum intelektual, pengusaha, dan tuan tanah. Mereka menentang dan bahkan memprotes sistem politik yang ada. Kaum parokial terdiri dari para petani dan buruh tani yang hidup dan bekerja di perkebunan-perkebunan.
Masyarakat demokratis pra industrial
Masyarakat demokratis pra industrial sebagian besar warga negaranya menganut budaya politik parokial. Mereka hidup di pedesaan dan tuna aksara. Pengetahuan dan keterlibatan mereka dalam kehidupan politik sangat kecil. Jumlah kelompok partisipan sangat sedikit, biasanya terdiri atas profesional terpelajar, usahawan, dan tuan tanah. Proporsi jumlah pendukung budaya politik subjek juga relatif kecil.