BAB 8
DINAMIKA PERAN INDONESIA DALAM PERDAMAIAN DUNIA SESUAI UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
KOMPETENSI DASAR
Mensyukuri peran Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
Toleran dan cinta damai sebagai refleksi peran Indonesia dalam perdamaian dunia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Mengevaluasi dinamika peran Indonesia dalam perdamaian dunia sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menyaji hasil evaluasi tentang peran Indonesia dalam perdamaian dunia sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Materi Pembelajaran
PERAN INDONESIA DALAM MENCIPTAKAN PERDAMAIAN DUNIA MELALUI HUBUNGAN INTERNASIONAL
Hakikat Hubungan Internasional
Pengertian hubungan internasional
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hubungan diartikan sebagai keadaan berhubungan, kontak, sangkut paut, serta ikatan. Sementara itu, kata internasional memiliki arti setiap hal yang menyangkut bangsa-bangsa seluruh dunia. Jadi, hubungan internasional dapat kita artikan sebagai kontak yang dilakukan dengan bangsa-bangsa seluruh dunia.
Pengertian hubungan internasional, juga dikemukakan oleh beberapa ahli sebagai berikut.
Tygve Nathiessen, hubungan internasional merupakan bagian dari ilmu politik dan karena itu komponen-komponen hubungan internasional meliputi politik internasional, organisasi dan administrasi internasional, serta hukum internasional.
Charles A. Mc. Clelland, hubungan internasional adalah studi tentang keadaan-keadaan relevan yang mengelilingi interaksi.
Buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri RI (Renstra), hubungan internasional sebagai hubungan antarbangsa dalam segala aspeknya yang dilakukan oleh suatu negara untuk mencapai kepentingan nasional negara tersebut.
Encyclopedia Americana, mendeskripsikan hubungan internasional sebagai hubungan yang dilakukan antarnegara atau antar individu dari negara yang berbeda beda, meliputi hubungan politik, budaya, ekonomi ataupun pertahanan dan keamanan.
Warsito Sunaryo, memandang bahwa hubungan internasional merupakan studi tentang interaksi antara jenis kesatuan-kesatuan sosial tertentu, termasuk studi tentang keadaan yang relevan yang mengelilingi interaksi. Adapun, yang dimaksud dengan kesatuan-kesatuan sosial tertentu, dapat diartikan sebagai negara, bangsa maupun organisasi negara sepanjang bersifat internasional.
Konsepsi hubungan internasional, sering dianggap sama dengan konsepsi politik luar negeri, hubungan luar negeri, dan politik internasional. Padahal, ketiga konsep tersebut memiliki makna yang berbeda. Meskipun tidak dapat dipungkiri, bahwa di antara ketiganya mempunyai persamaan dalam hal ruang lingkupnya yang melampaui batas-batas negara (internasional). Berikut ini makna dari ketiga konsep tersebut.
Politik luar negeri
Politik luar negeri merupakan strategi dan taktik yang digunakan oleh suatu negara dalam berhubungan dengan negara lainnya. Menurut buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia (1984-1988), politik luar negeri diartikan sebagai suatu kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka hubungannya dengan dunia internasional dalam usaha untuk mencapai tujuan nasional. Sementara itu, berdasarkan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, politik luar negeri adalah kebijakan, sikap, dan langkah pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lainnya, dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional.
Hubungan luar negeri
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 1999, hubungan luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah tingkat pusat dan daerah atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia.
Politik internasional
Politik internasional adalah politik antarnegara yang mencakup kepentingan dan tindakan beberapa atau semua negara, serta proses interaksi antarnegara maupun negara dengan organisasi internasional. Dapat juga dikatakan, bahwa politik internasional merupakan tindakan suatu negara yang ditujukan kepada negara lainnya dan sifatnya lebih ditekankan pada masalah politik masyarakat internasional.
Asas hubungan internasional
Terdapat tiga (3) asas dalam hubungan internasional yang saling memengaruhi antara satu dengan yang lainnya, sebagai berikut.
Asas teritorial
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya. Menurut asas ini, negara melaksanakan hukum bagi semua orang dan semua barang yang ada di wilayahnya.
Asas kebangsaan
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara untuk warga negaranya. Menurut asas ini, setiap warga negara tetap mendapat perlakuan hukum dari negaranya dimanapun ia berada. Asas ini mempunyai kekuatan ekstrateritorial, yang menyatakan bahwa hukum dari suatu negara, tetap berlaku bagi warga negaranya, walaupun ia berada di negara asing.
Asas kepentingan umum
Asas ini didasarkan pada wewenang negara untuk melindungi dan mengatur kepentingan dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, negara dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan dan peristiwa yang berkaitan dengan kepentingan umum. Jadi, hukum tidak terikat pada batas-batas wilayah suatu negara.
Faktor penentu dalam hubungan internasional
Berlangsungnya suatu hubungan internasional, sangat ditentukan oleh banyak faktor. Beberapa faktor penentu hubungan internasional sebagai berikut.
Kekuatan nasional.
Jumlah penduduk.
Sumber daya.
Letak geografis
Landasan hukum hubungan internasional
Bagi bangsa Indonesia, hubungan kerja sama antarnegara mengacu pada landasan-landasan hukum sebagai berikut.
Pancasila, terutama sila kedua, yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, terutama alinea keempat yang berbunyi: ".. ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial...".
Piagam PBB, terutama Pasal 1
Pasal 1 Piagam PBB menyebutkan tujuan PBB. Tujuan-tujuan PBB yang tercantum dalam Piagam PBB sebagai berikut.
Memelihara perdamaian dan keamanan internasional.
Mengembangkan hubungan persahabatan antarbangsa berdasarkan penghargaan atas prinsip-prinsip pesamaan hak dan hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, dan mengambil tindakan-tindakan lain yang wajar untuk mmperteguh perdamaian universal.
Mencapai kerja sama internasional dalam memecahkan persoalan-pasoalan dalam bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, atau kemanusiaan.
Menjadi pusat bagi penyelarasan segala tindakan-tindakan bangsa-bangsa dalam mencapai tujuan bersama.
Perjanjian internasional
Perjanjian internasional merupakan perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau lebih dan diatur oleh hukum internasional, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara-negara yang melakukan perjanjian tersebut.
Deklarasi hukum laut internasional
Indonesia telah memperjuangkan Deklarasi Juanda sejak tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi ini menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibatasi oleh garis lurus dengan jarak 12 mil dari garis pangkal lurus yang ditarik dari titik terluar pulau-pulau terluar sebagai laut teritorial. Deklarasi ini berhasil diakui oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1982, yang kemudian oleh Indonesia disahkan melalui UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut)
Konvensi internasional
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Konvensi Wina tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler, dan Konvensi New York tahun 1969 tentang Misi Khusus.
Sarana hubungan internasional
Ada beberapa sarana bagi suatu negara dalam menjalin hubungan internasional sebagai berikut.
Diplomasi
Diplomasi merupakan sarana yang paling sering digunakan oleh suatu negara dalam menjalin hubungan dengan negara lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diplomasi adalah penyelenggaraan perhubungan resmi antara satu negara dengan negara lain atau urusan kepentingan sebuah negara dengan perantaraan wakil- wakilnya di negeri lain.
Ekonomi
Hubungan internasional yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lainnya dalam bidang ekonomi biasanya dilakukan melalui jalur perdagangan. Hal tersebut biasanya dilakukan dengan kegiatan ekspor dan impor.
Propaganda
Propaganda merupakan usaha sistematis yang dilakukan untuk memengaruhi pikiran, emosi, dan tindakan suatu kelompok demi kepentingan masyarakat umum. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, propaganda adalah penerapan (paham, pendapat, dan sebagainya), baik benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu.
Kekuatan militer
Kekuatan militer suatu negara, dapat memengaruhi hubungan diplomasi antara negara tersebut dengan negara lain. Kekuatan militer yang dimiliki oleh suatu negara dapat meningkatkan kepercayaan diri negara tersebut dalam menghadapi berbagai ancaman dari negara lain.
Subjek hubungan internasional
Dalam hukum internasional, terdapat aktor yang melakukan hubungan internasional. Para aktor atau pelaku hubungan internasional tersebut disebut subjek hukum internasional. Subjek hukum internasional adalah orang atau badan maupun lembaga yang dianggap mampu melakukan perbuatan atau tindakan hukum yang diatur dalam hukum internasional, dan setiap perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa subjek hubungan internasional sebagai berikut.
Negara
Negara adalah subjek utama yang merupakan pelaku penting dalam hubungan internasional. Menurut Konvensi Montevideo 1933, untuk menjadi subjek hukum internasional, suatu negara harus memiliki kualifikasi sebagai berikut.
Memiliki penduduk yang tetap.
Memiliki wilayah tertentu.
Memiliki pemerintahan.
Memiliki kemampuan mengadakan hubungan dengan negara lain.
Organisasi internasional
Ada dua golongan besar organisasi internasional, yaitu organisasi internasional nonpemerintah (International Non- Governmental Organization/INGO) dan organisasi internasional antarpemerintah (Intergovernmental Organization/IGO). Secara umum, organisasi internasional yang dianggap subjek hukum internasional adalah organisasi internasional antarpemerintah (IGO). Hal tersebut karena IGO didirikan berdasarkan perjanjian antarnegara, contohnya PBB, ASEAN, OKI, OPEC, dan sebagainya.
Tahta Suci Vatikan
Tahta Suci Vatikan merupakan entitas yang tidak memiliki kualifikasi sebagai negara. Walaupun demikian, dalam hal-hal tertentu, Tahta Suci Vatikan dapat memiliki hak dan kewajiban terbatas di bawah hukum internasional. Tahta Suci Vatikan termasuk ke dalam subjek hukum internasional karena kedudukannya dianggap sejajar dengan negara. Hak tersebut terjadi sejak diadakannya perjanjian antara Italia dengan Tahta Suci Vatikan pada tanggal 11 Juli 1929.
Palang Merah Internasional
Palang Merah lnternasional atau lnternational Committee of the Red Cross (ICRC) adalah sebuah lembaga kemanusiaan swasta yang berkedudukan di Jenewa, Swiss. Organisasi ini tidak didirikan dengan perjanjian internasional, tapi di bawah hukum negara Swiss. Namun, secara historis, ICRC memiliki peranan penting dalam hukum perang, sehingga dianggap sebagai subjek hukum internasional.
Individu
Individu diakui sebagai subjek hukum internasional sejak diselenggarakannya Perjanjian Perdamaian Versailles tahun 1919 yang mengakhiri Perang Dunia I antara Jerman dengan Inggris dan Prancis. Perjanjian tersebut telah menetapkan bahwa individu dapat mengajukan perkara atau dituntut ke Mahkamah Internasional. Perbuatan individu yang dapat dituntut ke Mahkamah Internasional, sebagai berikut.
Kejahatan terhadap perdamaian (mengobarkan perang).
Kejahatan terhadap kemanusiaan (pelanggaran HAM berat).
Kejahatan terhadap perang (melanggar Hukum Perang).
Kesepakatan jahat bertaraf internasional.
Pemberontak dan pihak yang bersengketa
Menurut Hukum Perang, pemberontak dan pihak dalam sengketa dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa, antara lain:
memiliki hak yang sama untuk menentukan nasibnya sendiri;
hak secara bebas memilih sistem ekonomi, politik, dan sosial sendiri;
hak menguasai sumber kekayaan alam di wilayah yang didudukinya.
Sasaran hubungan internasional
Berikut ini beberapa aliran terkait pandangan - pandangan mengenai sasaran hubungan internasional.
Aliran idealisme
Pandangan aliran idealisme mengenai sasaran hubungan internasional sebagai berikut.
Setiap bangsa memiliki kepentingan yang sama terhadap perdamaian dunia.
Setiap bangsa yang mengganggu perdamaian dunia, berarti bangsa tersebut telah berlaku tidak rasional dan tidak bermoral.
Realitas manusia akan semakin kompleks, begitu juga dengan kualitas manusia yang akan semakin membaik.
Perdamaian merupakan suatu proses yang tidak dapat dihalangi realitasnya oleh kekuatan apa pun.
Perdamaian merupakan hal mutlak dalam hubungan internasional.
Aliran realisme
Sasaran hubungan internasional menurut aliran realisme, didasarkan pada beberapa pandangan sebagai berikut.
Kunci dari masalah politik internasional adalah kekuatan politik.
Otoritas (kewenangan) yang efektif dari suatu negara hanya dapat berdiri atas kekuatan nasional yang nyata.
Ketertiban internasional merupakan suatu tatanan yang mustahil terjadi dan tidak dapat dipercaya.
Perwujudan masyarakat internasional yang berdasarkan hubungan internasional hanyalah khayalan belaka (utopis), selama kepentingan internasional yang merupakan penggerak politik internasional, masih saling bertabrakan.
Aliran neorealisme
Aliran neorealisme memandang hubungan internasional, berdasarkan pada kalkulasi kekuatan dan kekuasaan serta pertimbangan moral. Aliran ini memadukan pandangan dari aliran idealisme dan realisme.
Aliran polemologi (studi perdamaian)
Sasaran hubungan internasional menurut aliran polemologi, didasarkan pada beberapa pandangan sebagai berikut.
Sumber konflik banyak terletak pada ketidakseimbangan di bidang ekonomi dan potensi militer.
Untuk memperoleh jalan keluar dalam memecahkan konflik, dapat dilakukan dengan cara mempertajam konflik tersebut.
Persamaan dan kesempatan untuk menikmati kemakmuran, harus diciptakan oleh setiap penguasa negara.
Masalah "dunia ketiga" harus dijadikan sasaran penyelidikan dalam setiap studi perdamaian.
Aliran perdamaian dan ideologi
Aliran perdamaian dan ideologi, memandang bahwa aspek ideologi harus diletakkan di samping kepentingan sebagai faktor utama yang menentukan hubungan internasional.
Pentingnya Hubungan Internasional bagi Indonesia
Ketergantungan antara satu negara dengan negara lain, telah menciptakan sebuah hubungan internasional. Hubungan yang tercipta, dapat bersifat bilateral maupun multilateral. Hal tersebut tergantung pada potensi yang dimiliki oleh setiap negara. Potensi yang dimaksud berupa kekuatan nasional, jumlah penduduk, sumber daya, dan letak geografis.
Pada pelaksanaannya, hubungan suatu negara dengan negara lainnya haruslah dilandasi oleh prinsip kesamaan derajat, saling menghormati, saling menguntungkan, dan saling tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing negara.
Arti penting hubungan internasional bagi suatu negara, karena beberapa faktor sebagai berikut.
Faktor kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang harus mengadakan kerja sama dengan sesamanya.
Faktor wilayah, di mana wilayah yang saling berjauhan akan mengakibatkan timbulnya kerja sama, baik regional maupun internasional.
Faktor pertumbuhan bangsa dan negara yang bersangkutan.
Faktor kepentingan nasional yang tidak selamanya dapat dipenuhi di dalam negeri sendiri.
Faktor tanggung jawab sebagai warga dunia untuk mewujudkan kehidupan dunia yang tertib, aman, damai, adil, dan merata.
Tujuan dilaksanakannya hubungan internasional sebagai berikut.
Suatu bangsa yang merdeka, tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari negara lain.
Untuk menjaga kelangsungan hidup dan mempertahankan kemerdekaannya, suatu negara membutuhkan negara lain.
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang relatif lebih cepat, membuat kejadian di suatu negara akan berpengaruh pada negara lain.
Mempercepat pertumbuhan suatu negara.
Memenuhi tanggung jawab sebagai warga dunia serta mewujudkan kehidupan dunia yang tertib, aman, damai, adil, dan merata.
Membina serta menegakkan perdamaian dan ketertiban dunia.
Menumbuhkan saling pengertian antarbangsa/ negara.
Memenuhi kebutuhan setiap negara atau pihak yang berhubungan.
Mempererat hubungan, rasa persahabatan, dan persaudaraan.
Menurut Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, hubungan internasional bagi bangsa Indonesia diarahkan untuk tujuan-tujuan sebagai
Meningkatkan penyelesaian masalah perbatasan wilayah Indonesia dengan negara tetangga secara diplomatis.
Mengembangkan kerja sama ekonomi, perdagangan, investasi, alih teknologi, dan bantuan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat indonesia.
Meningkatkan fasilitas bagi perluasan kesempatan kerja di luar negeri.
Mewujudkan kepemimpinan Indonesia dalam proses integrasi ASEAN Community dan penanganan kejahatan lalu lintas negara di kawasan tersebut.
Memperkuat hubungan dan kerja sama Indonesia dengan negara-negara kawasan Asia Pasifik.
Mewujudkan kemitraan strategis baru Asia Afrika.
Memantapkan serta memperluas hubungan dan kerja sama bilateral.
Memperkuat kerja sama di forum regional dan multilateral.
Meningkatkan dukungan serta kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia yang demokratis, aman, damai, adil, dan sejahtera.
Meningkatkan komitmen terhadap perdamaian dunia.
Meningkatkan pelayanan dan perlindungan warga negara Indonesia serta badan hukum Indonesia di luar negeri.
Meningkatkan upaya diplomasi kemanusiaan dalam menangani bencana alam, khususnya rehabilitasi serta rekonstruksi Aceh dan Sumatera Utara.
Mewujudkan organisasi Kementerian Luar Negeri yang profesional, efektif, dan dan efisien.
Meningkatkan koordinasi dan sinergi dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri.
Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menjalin Hubungan Internasional
Prinsip "bebas-aktif, menjadi landasan politik luar negeri Indonesia selama lebih dari 70 tahun. Hal tersebut berlangsung sejak pemerintahan Presiden Soekarno, hingga pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini. Menurut prinsip ini, Indonesia berkomitmen untuk "bebas" dalam menentukan sikap atas masalah-masalah internasional dan terlepas dari kutub-kutub kekuatan dunia, serta "aktif" berkontribusi dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dunia. Meskipun demikian, sikap politik luar negeri Indonesia yang mergedepankan pencapaian manfaat langsung bagi rakyat Indonesia, kerap dipandang sebagai pergeseran komitmen Indonesia terhadap ASEAN dan multilateralisme. Dalam konteks ini, prinsip "bebas-aktif merupakan bentuk pragmatisme Indonesia terhadap kepentingan nasional dan pudarnya keterlibatan di isu-isu global.
Menurut Arie S. Soesilo, prinsip bebas-aktif menjadi prinsip dasar dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Terkait dengan implementasi prinsip bebas-aktif, kepentingan nasional selalu menjadi prioritas utama. Hal tersebut dilakukan agar pada setiap penerapan kebijakan luar negeri, tidak merugikan dan dapat memberikan manfaat secara langsung bagi masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, politik luar negeri Indonesia harus diarahkan sebagai upaya untuk membangun kepemimpinan serta peran dalam mewujudkan tatanan dunia yang lebih adil dan damai. Untuk itu, kebijakan luar negeri Indonesia berpedoman kepada sejumlah arah kebijakan. Arah kebijakan tersebut, di antaranya memperkuat diplomasi maritim untuk menjaga kedaulatan NKRI, serta memperkuat peran dan kepemimpinan di ASEAN.
Menurut Prof. Donald E. Weatherbee sangat penting bagi Indonesia untuk menetapkan bagaimana prinsip bebas aktif diterapkan dalam kebijakan luar negerinya. Langkah tersebut sangat dinantikan negara-negara tetangga Indonesia. Hal itu karena negara kita diharapkan dapat tetap memenuhi kepentingan nasional Indonesia dan melahirkan peran aktif Indonesia yang lebih memimpin di kawasan-kawasan, seperti kawasan Asia Tenggara, Asia Pasifik, Asia-Afrika, dan sebagainya.
Kebijakan luar negeri Indonesia, harus dapat mencerminkan transformasi demokratis di dalam negeri. Pada periode mendatang, perlu ditekankan pentingnya dukungan dan partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan bagi efektivitas politik luar negeri Indonesia. Hal tersebut dilakukan untuk memperkuat posisi Indonesia dalam tatanan internasional. Selain itu, juga untuk mengantisipasi konstelasi politik internasional yang mengalami perubahan signifikan. Berbagai kebijakan besar yang terjadi sejak awal tahun 1990-an pada saat berakhirnya Perang Dingin, memicu perubahan di berbagai bidang. Agenda dan isu politik global, tidak lagi didominasi oleh dua polar, yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat dengan hegemoni ideologi komunisme dan liberalisme saja. Hal itu justru telah mengarah pada multipolar dengan tarikan kuat dari pusat-pusat kekuatan baru untuk membentuk tatanan internasional yang baru.
Perubahan-perubahan dalam tatanan internasional, tidak lagi mudah untuk dibendung di tengah derasnya arus globalisasi. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya saling keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa serta antarmanusia di seluruh dunia, melalui peningkatan perdagangan, investasi, dan sebagainya. Kondisi tersebut, mendorong terjadinya transformasi yang hampir menyentuh semua aspek kehidupan setiap negara dan bangsa.
Konsekuensi perubahan politik internasional, tentu memunculkan tantangan dan sekaligus peluang. Tantangan yang masih banyak dihadapi adalah adanya berbagai konflik militer antarnegara yang masih terus berlangsung. Namun, dunia yang bercirikan ketergantungan ekonomi juga telah menjadi realitas yang tidak terbantahkan. Sebagai anggota masyarakat dunia, Indonesia membutuhkan instrumen politik luar negeri yang efektif dan efisien. Hal tersebut dilakukan agar Indonesia mampu berkiprah memenuhi kepentingan nasional dalam kancah internasional. Oleh sebab itu, sejalan dengan sasaran pokok pembangunan nasional, yaitu meningkatnya peranan Indonesia dalam pergaulan dunia Internasional. Sasaran ini, tentunya harus diperkuat dan dipromosikan melalui berbagai hal sebagai berikut.
Identitas nasional sebagai negara demokratis dalam tatanan internasional
Pulihnya posisi Indonesia sebagai negara demokratis besar yang ditandai oleh keberhasilan diplomasi di berbagai forum internasional.
Meningkatnya kepemimpinan serta kontribusi Indonesia dalam kerjasama internasional dalam rangka mewujudkan tatanan dunia yang lebih adil dan damai.
Terwujudnya kemandirian nasional dalam konstelasi global.
Meningkatnya investasi perusahaan-perusahaan Indonesia di luar negeri.
Sasaran pokok tersebut sesuai dengan salah satu arah pembangunan nasional, yaitu mewujudkan Indonesia yang berperan aktif dalam pergaulan internasional. Hal tersebut, bisa dicapai melalui berbagai upaya optimalisasi diplomasi, penguatan kapasitas, dan kredibilitas politik luar negeri.
PERAN INDONESIA DALAM MENCIPTAKAN PERDAMAIAN DUNIA MELALUI ORGANISASI INTERNASIONAL
Peran Indonesia di Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB)
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan di San Francisco, Amerika Serikat, pada tanggal 24 Oktober 1945 atau setelah berakhirnya Perang Dunia II. Meski demikian, Sidang Majelis Umum yang pertama baru diselenggarakan pada tanggal 10 Januari 1946 di Church House, London. Saat itu, hadir wakil- wakil dari 51 negara. Sampai hari ini, jumlah anggota PBB telah mencapai 193 negara. Setiap anggota PBB, berkomitmen memelihara perdamaian dan keamanan internasional, mengembangkan hubungan persahabatan antarnegara, mempromosikan pembangunan sosial, peningkatan standar kehidupan yang layak, dan hak asasi manusia.
Pembentukan PBB merupakan salah satu upaya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di dunia internasional. Setiap negara akan memiliki forum untuk mengekspresikan pandangan mereka, melalui Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Hak Asasi Manusia, dan badan-badan serta komite-komite dalam lingkup PBB. Hal ini tentunya dilakukan dengan mengedepankan cara - cara damai dalam menyelesaikan berbagai permasalahan.
Indonesia resmi menjadi anggota PBB ke-60 pada tanggal 28 September 1950. Penerimaan tersebut, terjadi kurang dari setahun setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda di Konferensi Meja Bundar (KMB). Hubungan antara Indonesia dan PBB cukup erat. Hal tersebut karena Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, tahun yang sama dengan didirikannya PBB. Oleh karena itu, PBB sangat aktif mendukung Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Hal ini menyebabkan banyak negara menjuluki Indonesia sebagai "truly a child” dari PBB. Julukan tersebut lahir karena peran PBB pada masa revolusi fisik cukup besar. Contohnya, saat terjadi Agresi Militer Belanda I, Indonesia dan Australia mengusulkan agar persoalan Indonesia dibahas dalam Sidang Umum PBB. Atas usulan tersebut, PBB membentuk Komisi Tiga Negara yang diteruskan dengan Perundingan Renville. Selanjutnya, saat Agresi Militer Belanda II, PBB membentuk UNCI yang melahirkan Perundingan Roem Royen.
Wakil tetap RI yang pertama di PBB adalah Lambertus Nicodemus Palar. Peranannya sebagai duta besar sangat besar, terutama dalam usaha mendapatkan pengakuan internasional tentang kemerdekaan Indonesia. la banyak memperdebatkan posisi kedaulatan Indonesia di PBB dan di Dewan Keamanan. Meskipun saat itu, ia hanya sebagai “peninjau" karena Indonesia belum menjadi anggota PBB. Pada saat berpidato di muka Sidang Majelis Umum PBB saat Indonesia diterima sebagai anggota PBB, Palar berterima kasih kepada PBB dan akan melaksanakan kewajiban sebagai anggota PBB.
Kedudukan sebagai negara anggota PBB, digunakan Indonesia untuk menyelesaikan sengketa Irian Jaya dengan Belanda. Indonesia kemudian mengajukan penyelesaian permasalahan tersebut kepada PBB pada tahun 1954. Selain itu, posisi Indonesia semakin kuat karena didukung oleh Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada bulan April 1955. Konferensi tersebut, mengeluarkan resolusi untuk mendukung Indonesia dan meminta PBB menjembatani pihak yang berkonflik dalam meraih solusi damai.
Permasalahan Indonesia dan Belanda mengenai Irian Jaya, terus bergulir sampai tahun 1961. Selanjutnya, pada Sidang Majelis Umum PBB ke- 17 yang diselenggarakan tahun 1962, penyelesaian sengketa tersebut akhirnya menemukan titik terang dengan dikeluarkannya Resolusi No. 1752 yang mengadopsi "The New York Agreement” pada tanggal 21 September 1962. Melalui resolusi tersebut United Nations Executive Authority (UNTEA) sebagai badan yang diberi mandat oleh PBB untuk melakukan transfer kekuasaan Irian Jaya dari Belanda kepada Indonesia menjalankan tugasnya secara efektif mulai tanggal 1 Oktober 1962 dan berakhir pada tanggal 1 Mei 1963.
Dinamika keanggotaan Indonesia di PBB, memanas saat PBB mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikannya anggota tidak tetap. Hal ini membuat Presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965. Keputusan ini akhirnya diralat saat pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Indonesia menyatakan kembali menjadi anggota PBB pada tanggal 19 September 1966 dan diterima kembali secara resmi menjadi anggota pada tanggal 28 September 1966.
Kembalinya Indonesia sebagai anggota PBB, membuat penyelesaian masalah Irian Barat kembali dilanjutkan. Sebagai jalan penyelesaian, pemerintah Indonesia melaksanakan "Pepera" di Irian Jaya (Papua) di bawah pengawasan PBB pada tahun 1969. Pelaksanaannya dilakukan secara demokratis dan transparan dengan melibatkan masyarakat serta partisipasi, bantuan, dan saran PBB melalui utusan khususnya, yaitu Duta Besar Ortiz Sanz dari Bolivia. Hasil Pepera diterima masyarakat internasional melalui sebuah Resolusi No. 2504 dalam Sidang Umum PBB ke-24 pada tanggal 19 Oktober 1969 yang mengukuhkan perpindahan kekuasaan di wilayah Irian Jaya dari Belanda kepada Indonesia.
Kiprah Indonesia di Dewan Keamanan (DK) PBB harus mendapat pengakuan. Salah satunya adalah ketika pertama kali terpilih sebagai anggota tidak tetap DK PBB periode 1974-1975. Negara Indonesia terpilih untuk kedua kalinya menjadi anggota tidak tetap DK PBB untuk periode 1995-1996. Pada masa keanggotaan Indonesia di DK PBB, wakil tetap RI Nugroho Wisnumurti tercatat dua kali menjadi presiden DK PBB. Indonesia terpilih untuk ketiga kalinya sebagai anggota tidak tetap DK PBB untuk masa bakti 2007-2009. Proses pemilihan dilakukan melalui pemungutan suara dengan perolehan 158 suara dukungan dari keseluruhan 193 negara anggota yang memiliki hak pilih.
Berikut ini para wakil tetap RI di PBB.
Lambertus Nicodemus Palar, periode 1950- 1953.
Sudjarwo Tjondronegoro, periode 1953-1957.
Ali Sastroamidjojo, periode 1957-1960.
Soekardjo Wirjopranoto, periode 1960-1962.
Lambertus Nicodemus Palar, periode 1962- 1965.
Dr. H. Roeslan Abdulgani, periode 1967-1971.
Yoga Soegomo, periode 1971-1974.
Ch. Anwar Sani, periode 1974-1979.
Abdullah Kamil, periode 1979-1982.
Ali Alatas, periode 1982-1988.
Nana Sutresna, periode 1988-1992.
Noegroho Wisnumurti, periode 1992-1997.
Makarim Wibisono, periode 1997-2001.
Makmur Widodo, periode 2001-2004.
Rezlan Ishar Jenie, periode 2004-2007.
R.M. Marty M. Natalegawa, periode 2007- 2009.
Hassan Kleib, periode 2010-2012.
Desra Percaya, periode 2012-2015.
Dian Triansyah Djani 2015 -sekarang.
Peran Indonesia di ASEAN
Salah satu upaya memastikan tercapainya tujuan nasional Indonesia adalah melalui kerja sama diplomatik dengan negara-negara di dunia internasional. Departemen luar negeri menekankan kerjasama dalam seri lingkaran konsentris (concentric circles), sebagai berikut.
Lingkaran pertama adalah Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang merupakan pilar utama bangsa Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya.
Lingkaran konsentris kedua adalah ASEAN +3 (Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan). Di luar hal tersebut, Indonesia juga mengadakan hubungan kerja sama yang intensif dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang merupakan partner utama ekonomi Indonesia.
Dalam lingkaran konsentris yang ketiga, Indonesia mengakui pentingnya menggalang kerja sama dengan like-minded developing countries (LMDC). Sekelompok negara berkembang yang mengorganisir diri mereka sebagai blok negosiator dalam organisasi internasional. Anggota LMDC adalah Aljazair, Bangladesh, Bolivia, Cina, Kuba, Ekuador, Mesir, El Salvador, India, Indonesia, Iran, Irak, Yordania, Kuwait, Malaysia, Mali, Nikaragua, Pakistan, Arab Saudi, Sri Lanka, Sudan, Suriah, Venezuela, den Vietnam. Dengan forum-forum tersebut, Indonesia dapat menerapkan diplomasinya untuk memperkuat usaha bersama dalam rangka menjembatani kesenjangan antara negara-negara berkembang dengan negara maju. Sementara itu, pada level global, indonesia mengharapkan dan menekankan secara konsisten penguatan multilateralisme melalui PBB, khususnya dalam menyelesaikan segala permasalahan perdamaian dan keamanan dunia.
Pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand, lima wakil negara/pemerintahan negara-negara Asia Tenggara berkumpul. Para wakil negara/pemerintahan tersebut, di antaranya Menteri Luar Negeri Indonesia (Adam Malik), Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan dan Menteri Pembangunan Nasional Malaysia (Tun Abdul Razak), Menteri Luar Negeri Filipina (Narciso Ramos), Menteri Luar Negeri Singapura (S. Rajaratman), dan Menteri Luar Negeri Thailand (Thanat Khoman). Pertemuan tersebut dilaksanakan untuk melakukan perundingan dan penandatangan Deklarasi ASEAN (The ASEAN Declaration) atau yang dikenal Deklarasi Bangkok (Bangkok Declaration).
Isi Deklarasi Bangkok sebagai berikut.
Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan perkembangan kebudayaan di kawasan Asia Tenggara.
Meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional.
Meningkatkan kerja sama dan saling membantu untuk kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan, dan administrasi.
Memelihara kerja sama yang erat di tengah - tengah organisasi regional dan internasional yang ada.
Meningkatkan kerja sama untuk memajukan pendidikan, latihan, dan penelitian di kawasan Asia Tenggara.
Penandatangan Deklarasi Bangkok, sekaligus melahirkan suatu organisasi kawasan yang diberi nama Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN). Tujuan awal pendirian organisasi ini adalah menggalang kerja sama antarnegara anggota dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi, mendorong perdamaian dan stabilitas wilayah, serta membentuk kerja sama dalam berbagai bidang kepentingan bersama. Pada perkembangannya, ASEAN membuat berbagai agenda di bidang politik, seperti Deklarasi Kawasan Damai, Bebas, dan Netral (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality Declaration/ ZOPFAN) yang ditandatangani pada tahun 1971.
Pesatnya perkembangan ASEAN, membuat negara-negara lain di Asia Tenggara bergabung menjadi anggota. Negara-negara tersebut, sebagai berikut.
Brunei Darussalam, resmi menjadi anggota keenam ASEAN pada tanggal 7 Januari 1984 dalam Sidang Khusus para Menteri Luar Negeri ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting/AMM) di Jakarta, Indonesia.
Vietnam, resmi menjadi anggota ketujuh ASEAN pada pertemuan pada Menteri Luar Negeri ASEAN ke-28 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 29 sampai 30 Juli 1995.
Laos dan Myanmar, resmi menjadi anggota kedelapan dan kesembilan ASEAN pada pertemuan pada Menteri Luar Negeri ASEAN ke- 30 di Subang Jaya, Malaysia, yang dilaksanakan pada tanggal 23 sampai 28 Juli 1997.
Kamboja, resmi menjadi anggota kesepuluh ASEAN dalam Upacara Khusus Penerimaan pada tanggal 30 April 1999 di Hanoi, Vietnam.
Keanggotaan ASEAN juga akan bertambah, ketika Timor Leste yang secara geografis terletak di wilayah Asia Tenggara secara resmi bergabung dengan ASEAN. Timor Leste sendiri, telah mendaftarkan diri sebagai anggota ASEAN pada tahun 2011.
Semakin lengkapnya negara anggota ASEAN telah sesuai dengan cita-cita para pendiri, yaitu menjalin persahabatan dan kerja sama dalam menciptakan wilayah yang aman, damai, dan makmur. Cita-cita tersebut, dipertegas dengan kesepakatan Bali Concord I tahun 1976. Dalam kesepakatan itu, para pemimpin ASEAN menyepakati Program Aksi yang mencakup kerja sama di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan penerangan, keamanan, serta peningkatan mekanisme ASEAN. Tujuannya adalah membentuk kawasan yang terintegrasi dalam satu masyarakat negara-negara Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil dan sejahtera, saling peduli, serta terikat bersama dalam kemitraan dinamis di tahun 2020. Harapan tersebut dituangkan dalam Visi ASEAN 2020 pada KTT ASEAN di Kuala Lumpur tanggal 15 Desember 1997. Untuk mewujudkan harapan tersebut, ASEAN mengesahkan Bali Concord II pada KTT ke-9 ASEAN yang diselenggarakan di Bali tahun 2003 tentang pembentukan masyarakat ASEAN.
Lahirnya Bali Concord II, membuat para pemimpin ASEAN sepakat untuk melangkah maju menuju suatu masyarakat ASEAN. Selain itu, disepakati juga tiga pilar untuk menopang masyarakat ASEAN, sebagai berikut.
Pilar Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN (ASEAN Political-Security Community/ APSC).
Pilar Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC).
Pilar Masyarakat Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community/ ASCC).
Upaya mempertegas pembentukan Masyarakat ASEAN, dilakukan dalam KTT ke-10 ASEAN di Vientiane, Laos pada tanggal 29-30 November 2004. Hasilnya, disetujui tiga Rencana Aksi (Plan of Action/ PoA) pada masing-masing pilar. Hal tersebut menjadi program jangka panjang dalam merealisasikan pembentukan masyarakat ASEAN. Selain itu, KTT juga mengintegrasikan ketiga Rencana Aksi Masyarakat ASEAN ke dalam Vientianne Action Programme (VAP) sebagai landasan program jangka pendek sampai menengah periode 2004-2010.
Kebulatan tekad negara anggota ASEAN dalam membentuk masyarakat ASEAN, diperkuat dengan ditandatanganinya Deklarasi Cebu tentang Percepatan Pembentukan Masyarakat ASEAN pada tahun 2015 oleh para pemimpin ASEAN pada KTT ke-12 ASEAN di Cebu, Filipina, tanggal 13 Januari 2007. Rancangan terbentuknya masyarakat ASEAN 2015, dilakukan dengan menyusun Cetak Biru (Blue Print) Masyarakat ASEAN. Cetak Biru tersebut merupakan pedoman arah pembentukan Masyarakat ASEAN di tiga pilar. Dari ketiga pilar itu, Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN disahkan pada KTT ke-13 ASEAN tahun 2007 di Singapura. Selanjutnya, Cetak Biru Masyarakat Politik Keamanan ASEAN dan Cetak Biru Masyarakat Sosial Budaya ASEAN disahkan pada KTT ke-14 ASEAN tahun 2009 di Cha Am Hua Hin, Thailand. KTT tersebut, berhasil juga mensahkan Deklarasi Cha AM Hua Hin tentang Peta Jalan Pembentukan Masyarakat ASEAN 2009-2011.
Upaya memperkukuh kerja sama ASEAN terus dilakukan. Salah satunya dengan menyusun suatu piagam (charter) sebagai dokumen kerangka hukum dan kelembagaan ASEAN. Usulan tentang penyusunan Piagam ASEAN (ASEAN Charter) disampaikan pada KTT ASEAN di Kuala Lumpur pada tahun 2005. Selanjutnya, langkah penyusunan Piagam ASEAN dimulai tahun 2006 melalui pembentukan kelompok ahli dan dilanjutkan oleh Gugus Tugas Tingkat Tinggi (High Level Task Force) dalam melakukan negosiasi terhadap isi draf Piagam ASEAN. Selanjutnya, melalui Bali Concord III yang disahkan dalam KTT ke-19 ASEAN di Bali, pada tanggal 17-19 November 2011. Kesepakatan ini diharapkan memantapkan ASEAN untuk mewujudkan kepentingan kawasan dan global yang lebih damai, adil, demokratis, dan sejahtera.
Pembangunan masyarakat ASEAN oleh seluruh negara anggota ASEAN, terus dilakukan dengan menyepakati Bandar Seri Begawan Declaration On The ASEAN Community's Post 2015 Vision dalam KTT ASEAN ke-23 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, pada tanggal 9-10 Oktober 2013. Pada deklarasi tersebut, seluruh negara anggota ASEAN berkomitmen merumuskan lagi visi Masyarakat ASEAN Pasca 2015. Oleh sebab itu, Indonesia mengusulkan elemen - elemen politik ASEAN Community's Post 2015 Vision yang disambut baik oleh negara-negara anggota ASEAN. Usulan-usulan tersebut, di antaranya:
melakukan konsolidasi internal masyarakat ASEAN
menciptakan arsitektur regional untuk memastikan kestabilan, perdamaian, keamanan, dan kemakmuran di kawasan;
kontribusi ASEAN untuk mengatasi berbagai isu-isu dan tantangan global dengan memanfaatkan Bali Concord III dan Plan of Action sebagai common platform; dan
mengidentifikasi ASEAN Development Goals (ADGS).
Peran Indonesia di Gerakan Non Blok (GNB)
Membicarakan Gerakan Non Blok (GNB), tidak dapat dipisahkan dari sejarah Konferensi Asia-Afrika. Hal itu karena KAA yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1955, merupakan proses awal lahirnya GNB. Penyelenggaraan KAA pada tanggal 18-24 April 1955, dihadiri oleh 29 kepala negara dan kepala pemerintah dari benua Asia dan Afrika. Negara-negara yang menghadiri konferensi tersebut, umumnya adalah negara yang baru saja merdeka. Tujuan pelaksanaan konferensi ini adalah mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah dunia saat itu. Identifikasi diperlukan untuk menformulasi kebijakan bersama di antara negara -negara baru dalam tatanan hubungan internasional. Hasil pelaksanaan KAA adalah Dasasila Bandung yang dirumuskan sebagai prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan hubungan dan kerja sama antara bangsa-bangsa.
Dasasila Bandung menjadi kunci utama dalam proses pendirian GNB. Tokoh-tokoh yang memegang peranan dalam pendirian GNB adalah Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden Indonesia Soekarno, dan Presiden Yogoslavia Josip Broz Tito.
Pendirian GNB bersamaan dengan diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I GNB di Beograd, Yugoslavia, pada tanggal 1-6 September 1961. KTT I dihadiri oleh 25 negara, yaitu Afghanistan, Algeria, Yaman, Myanmar, Kamboja, Sri Lanka, Kongo, Kuba, Cyprus, Mesir, Ethiopia, Ghana, Guinea, India, Indonesia, Irak, Lebanon, Mali, Maroko, Nepal, Arab Saudi, Somalia, Sudan, Suriah, Tunisia, dan Yugoslavia. Negara - negara tersebut berketetapan untuk mendirikan suatu gerakan, bukan suatu organisasi. Pada KTT I juga ditegaskan bahwa GNB tidak diarahkan pada suatu peran pasif dalam politik internasional, tetapi memformulasikan posisi secara independen dan merefleksikan kepentingan negara-negara anggotanya.
GNB menempati posisi khusus dalam politik luar negeri Indonesia. Hal itu karena Indonesia berperan sentral dalam proses pendiriannya. Selain karena KAA, Presiden Soekarno juga diakui secara khusus sebagai tokoh penggagas berdirinya GNB. Peran kunci Indonesia dalam GNB, sebenarnya menjadi refleksi dari perjuangan dan tujuan kebangsaan Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD NRI Tahun 1945. Melalui GNB, negara Indonesia memberikan dukungan bagi hak menentukan nasib sendiri, kemerdekaan nasional, kedaulatan, dan integritas nasional negara-negara anggotanya. Selain itu, Indonesia juga menentang apartheid, tidak memihak pada pakta militer multilateral; menentang segala bentuk dan manifestasi imperialisme; perjuangan menentang kolonialisme, neokolonialisme, rasisme, pendudukan, dan dominasi asing; perlucutan senjata; tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain dan hidup berdampingan secara damai, penolakan terhadap penggunaan atau ancaman kekuatan dalam hubungan internasional; pembangunan ekonomi-sosial dan restrukturisasi sistem perekonomian internasional, serta kerja sama internasional berdasarkan persamaan hak.
Tujuan GNB mulai mengalami perubahan, semenjak pertengahan tahun 1970-an. Para anggota mulai membicarakan isu-isu ekonomi. Oleh sebab itu, GNB dan Kelompok 77 (Group of 77/ G-77) mengadakan serangkaian pertemuan guna membahas masalah-masalah ekonomi dunia dan pembentukan Tata Ekonomi Dunia Baru (New International Economic Order). Eksistensi GNB juga mulai banyak dipertanyakan ketika runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 dan kekuatan militer-politik komunisme di Eropa Timur. Banyak negara mulai berdebat tentang relevansi, manfaat dan keberadaan GNB. Menurut mereka, dengan berakhirnya sistem bipolar pada konstelasi politik dunia, eksistensi GNB menjadi tidak bermakna. Meski demikian, banyak juga yang mengusulkan GNB berperan dalam menghadapi tantangan- tantangan baru dunia pasca Perang Dingin. Hal itu tidak lepas dari kembalinya ketegangan Utara- Selatan dan jurang pemisah antara negara maju dan negara berkembang. Atas dasar inilah, fokus GNB pada dekade 90-an berubah pada masalah- masalah yang terkait dengan pembangunan ekonomi negara berkembang, pengentasan kemiskinan, dan lingkungan hidup.
Pada periode saat Indonesia menjadi ketua GNB, telah banyak hal yang dilakukan. GNB berhasil menghidupkan kembali dialog konstruktif Utara-Selatan berdasarkan saling ketergantungan yang setara (genuine interdependence), kesamaan kepentingan dan manfaat, serta tanggung jawab bersama. Peranan Indonesia juga cukup sentral dalam mengupayakan penyelesaian masalah utang luar negeri negara-negara berkembang miskin (HIPCs/ Heavily Indebted Poor Countries) yang terpadu, berkesinambungan, dan komprehensif. Upaya memperkuat kerja sama Selatan-Selatan dilakukan pada KTT GNB ke-10 di Jakarta. Upaya tersebut dilakukan berdasarkan prinsip collective self- reliance. Sebagai tindak lanjutnya dan juga sesuai mandat KTT GNB ke-11 yang diselenggarakan di Cartagena pada tahun 1995, telah didirikan Pusat Kerja sama Teknik Selatan-Selatan GNB (NAM CSSTC) di Jakarta. NAM CSSTC telah menyelenggarakan berbagai program pada bidang pengentasan kemiskinan, usaha memajukan usaha kecil dan menengah, serta penerapan teknologi informasi dan komunikasi.
Pada bidang politik, Indonesia berperan dalam upaya peningkatan peran GNB untuk menyerukan perdamaian dan keamanan internasional, proses dialog dan kerja sama dalam upaya penyelesaian damai konflik-konflik intra dan antar negara, serta upaya penanganan isu-isu dan ancaman keamanan global baru. Besarnya kontribusi Indonesia, membuat negara Indonesia dipercaya menjadi Ketua Komite Ekonomi dan Sosial, Ketua Kelompok Kerja Perlucutan Senjata pada Komite Politik, dan anggota Komite Palestina.
Pada KTT GNB ke-16 yang diselenggarakan di Teheran, Iran, pada tanggal 26-31 Agustus 2012, Indonesia ikut menyepakati Tehran Final Document, Deklarasi Solidaritas Palestina, Deklarasi Tahanan Politik Palestina, Deklarasi Tehran, dan Tehran Plan of Action. Selain itu, Indonesia juga menyampaikan pentingnya kontribusi GNB dalam beberapa hal berikut.
Menciptakan budaya perdamaian dan keamanan.
Mendorong pendekatan multilateralisme dan menjalin kemitraan untuk mencapai kesejahteraan sosial bagi rakyat.
Tata kelola pemerintahan yang baik di tatanan internasional, baik dalam bidang politik maupun bidang ekonomi pembangunan.
Perlunya reformasi rezim keuangan dan perdagangan internasional serta organisasi PBB dalam bidang ekonomi dan pembangunan.