BAB 7 Sub Bab 2 Sistem Hukum dan Peradilan Internasional (PPKn XI)


B.       LEMBAGA PERADILAN INTERNASIONAL

1.    Mahkamah Internasional (The International Court of Justice/MI)

Mahkamah Internasional adalah lembaga kehakiman PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Didirikan pada tahun 1945 berdasarkan Piagam PBB, berfungsi sejak tahun 1946 sebagai pengganti dari Mahkamah Internasional Permanen.

a.   Komposisi Mahkamah Internasional

Menurut pasal 9 Statuta Mahkamah Internasional menyebutkan, bahwa komposisi Mahkamah Internasional terdiri dari 15 hakim. Dua di antaranya merangkap ketua dan wakil ketua Mahkamah Internasional. Masa jabatannya adalah 9 tahun. Ke-15 calon hakim tersebut direkrut dari warga negara anggota yang dinilai cakap di bidang hukum internasional. Dari daftar calon ini, Majelis Umum dan Dewan Keamanan secara independen melakukan pemungutan suara untuk memilih anggota Mahkamah. Para calon yang memperoleh suara terbanyak terpilih menjadi hakim Mahkamah Internasional. Biasanya lima hakim Mahkamah Internasional berasal dari negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Selain 15 hakim tetap, pasal 32 Statuta Mahkamah Internasional memungkinkan dibentuknya hakim ad hoc. Hakim ad hoc terdiri dari dua hakim yang diusulkan oleh negara yang bersengketa. Kedua hakim ad hoc bersama-sama dengan ke-15 hakim tetap memeriksa dan memutus perkara yang disidangkan.

b.   Fungsi utama Mahkamah Internasional

Fungsi utama Mahkamah Internasional adalah menyelesaikan kasus-kasus persengketaan internasional yang subjeknya adalah negara. Pasal 34 Statuta Mahkamah Internasional menyatakan, bahwa yang boleh beracara di Mahkamah Internasional hanyalah subjek hukum negara. Dalam hal ini, ada tiga kategori negara sebagai berikut.

1)   Negara anggota PBB

Menurut pasal 35 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional dan pasal 93 ayat 1 Piagam PBB, negara anggota PBB secara otomatis mempunyai hak untuk beracara di Mahkamah Internasional.

2)   Negara bukan anggota PBB yang menjadi anggota Statuta Mahkamah Internasional

Negara yang bukan anggota PBB dapat beracara di Mahkamah Internasional asalkan memenuhi persyaratan yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB atas dasar pertimbangan Majelis Umum PBB. Adapun persyaratan tersebut adalah, bersedia menerima ketentuan dari Statuta Mahkamah Internasional, Piagam PBB (pasal 94), dan segala ketentuan berkenaan dengan Mahkamah Internasional.

3)   Negara bukan anggota statuta Mahkamah Internasional

Negara-negara yang masuk dalam kategori ini diharuskan membuat deklarasi bahwa tunduk pada semua ketentuan Mahkamah Internasional dan Piagam PBB (pasal 94).

c.    Yurisdiksi Mahkamah Internasional

Yurisdiksi Mahkamah Internasional adalah kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Internasional yang bersumber pada hukum internasional untuk menentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum. Yurisdiksi ini meliputi kewenangan sebagai berikut.

1)   Memutuskan perkara-perkara pertikaian (contentious case).

2)   Memberikan opini-opini yang bersifat nasihat (advisory opinion).

Yurisdiksi menjadi dasar Mahkamah dalam menyelesaikan sengketa internasional. Para pihak yang akan beracara di Mahkamah Internasional harus menerima yurisdiksi Mahkamah Internasional, Ada beberapa kemungkinan cara penerimaan yurisdiksi, yaitu dalam bentuk sebagai berikut.

1)   Perjanjian khusus. Dalam hal ini, para pihak yang bersengketa menyerahkan perjanjian khusus yang berisi subjek sengketa dan pihak yang bersengketa.

2)   Penundukan diri dalam perjanjian internasional. Dalam hal ini, para pihak telah menundukkan diri pada yurisdiksi Mahkamah Internasional sebagaimana terdapat dalam isi perjanjian internasional di antara mereka. Ketentuan tersebut mengharuskan peserta perjanjian untuk tunduk kepada yurisdiksi Mahkamah Internasional manakala terjadi sengketa di antara para peserta perjanjian.

3)   Pernyataan penundukan diri negara peserta Statuta Mahkamah Internasional. Dalam hal ini, negara yang menjadi anggota Statuta Mahkamah Internasional yang akan beracara di Mahkamah Internasional menyatakan diri tunduk pada Mahkamah Internasional. Di sini, mereka tidak perlu membuat perjanjian khusus terlebih dahulu.

4)   Keputusan Mahkamah Internasional mengenai yurisdiksinya. Dalam hal ini, manakala ada sengketa mengenai yurisdiksi Mahkamah Internasional, maka sengketa tersebut diselesaikan dengan keputusan Mahkamah Internasional sendiri. Di sini, para pihak dapat mengajukan keberatan awal terhadap yurisdiksi Mahkamah Internasional.

5)   Penafsiran putusan. Hal ini didasarkan pada pasal 60 Statuta Mahkamah Internasional, yang mengharuskan Mahkamah Internasional untuk memberikan penafsiran jika diminta oleh salah satu ataupun kedua belah pihak yang beracara. Permintaan penafsiran dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian khusus antar para pihak yang bersengketa ataupun permintaan dari salah satu pihak yang bersengketa.

6)   Perbaikan putusan. Dalam hal ini, penundukan diri pada yurisdiksi Mahkamah Internasional dilakukan melalui pengajuan permintaan. Syarat pengajuan permintaan tersebut adalah adanya fakta baru (novum) yang belum diketahui Mahkamah Internasional ketika putusan tersebut dibuat. Jadi, hal itu sama sekali bukan karena kesengajaan dari para pihak yang bersengketa.

2.    Mahkamah Pidana International (The Criminal Court/ICC)

Mahkamah Pidana Internasional merupakan mahkamah pidana internasional yang berdiri permanen berdasarkan traktat multilateral. Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk mewujudkan supremasi hukum internasional dan memastikan bahwa pelaku kejahatan berat internasional dipidana. Mahkamah Pidana Internasional disahkan pada tanggal 1 Juli 2002, dan dibentuk berdasarkan Statuta Roma yang lahir terlebih dahulu pada tanggal 17 Juli 1998. Tiga tahun kemudian, yaitu tanggal 1 Juli 2005, Statuta Mahkamah Pidana Internasional telah diterima dan diratifikasi oleh 99 negara.

a.    Komposisi Mahkamah Pidana Internasional

Awalnya, Mahkamah Pidana Internasional terdiri dari 18 orang hakim yang bertugas selama 9 tahun tanpa dapat dipilih kembali. Para hakim dipilih berdasarkan dua pertiga suara Majelis Negara Pihak, yang terdiri atas negara-negara yang telah meratifikasi statuta ini (pasal 36 ayat 6 dan 9). Paling tidak separuh dari mereka kompeten di bidang hukum pidana dan acara pidana, sementara paling tidak lima lainnya mempunyai kompetensi di bidang hukum internasional. Dalam memilih para hakim, negara pihak harus memperhitungkan perlunya perwakilan berdasarkan prinsip- prinsip sistem hukum di dunia, keseimbangan geografis, dan keseimbangan gender. Para hakim akan dibagi dalam tiga bagian, yaitu pra-peradilan, peradilan, dan peradilan banding.

b.    Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional

Yurisdiksi atau kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Pidana Internasional untuk menegakkan aturan hukum internasional adalah memutus perkara terbatas terhadap pelaku kejahatan berat oleh warga negara dari negara yang telah meratifikasi statuta mahkamah. Pasal 5-8 statuta mahkamah menentukan empat jenis kejahatan berat, sebagai berikut.

1)   Kejahatan genosida (the crime of genocide), yaitu tindakan jahat yang berupaya untuk memusnahkan keseluruhan atau sebagian dari suatu bangsa, etnik, ras, ataupun kelompok keagamaan tertentu.

2)   Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity), yaitu tindakan penyerangan yang luas atau sistematis terhadap populasi penduduk sipil tertentu.

3)   Kejahatan perang (war crime), yaitu meliputi beberapa hal sebagai berikut.

a)    Tindakan berkenaan dengan kejahatan perang, khususnya apabila dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut.

b)   Semua tindakan terhadap manusia atau hak miliknya yang bertentangan dengan Konvensi dengan Jenewa (misalnya, pembunuhan berencana, penyiksaan, eksperimen biologis, menghancurkan harta benda).

c)    Kejahatan serius yang melanggar hukum konflik bersenjata internasional (misalnya, menyerang objek-objek sipil bukan objek militer, membombardir secara membabi-buta suatu desa atau penghuni bangunan-bangunan tertentu yang bukan objek militer).

4)   Kejahatan agresi (the crime of aggression); yaitu tindak kejahatan yang berkaitan dengan ancaman terhadap perdamaian.

3.    Panel Khusus dan Spesial Pidana Internasional (The International Criminal Tribunals and Special Courts/ITC dan SC)

Panel Khusus Pidana Internasional dan Panel Spesial Pidana internasional adalah lembaga peradilan internasional yang berwenang mengadili para tersangka kejahatan berat internasional yang bersifat tidak permanen (ad hoc). Artinya, setelah selesai mengadili, peradilan ini dibubarkan. Dasar pembentukan dan komposisi penuntut maupun hakim ad hoc ditentukan berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB. Sedangkan, yurisdiksi Panel Khusus Pidana Internasional dan Panel Spesial Pidana Internasional menyangkut tindak kejahatan perang dan genosida tanpa melihat apakah negara dari si pelaku tersebut sudah meratifikasi statuta ICC atau belum. Hal ini berbeda dengan ICC yang yurisdiksinya didasarkan pada kepesertaan negara dalam traktat multilateral tersebut.

 


Previous Post Next Post